Kamis, 18 Februari 2016

Konstruksi Kuda-Kuda pada Jembatan Mungkin?








Jadi, boleh minta nomer telepon?

Aku mendengus. Buat apa lagi nomer telepon, erangku dalam hati. Tanpa sadar aku menggaruk kepala yang tak gatal. Dan mataku menjelajah langit-langit kamar yang tidak ada apa-apanya, gelap. Maksudku, kita baru berbincang selama empat puluh menit.



Aku bahkan belum tahu kamu itu kakak kelas yang mana di sekolahku. Katamu 3 IPA 3. Oke, aku bisa terima. Tapi ada banyak anak laki-laki di 3 IPA 3. Kamu itu anak laki-laki yang mana? Maksudku, ya aku tahu kamu punya dua mata, satu hidung, satu mulut, dan dua telinga.

Lalu apa?

Manusia memang memiliki semuanya, ‘kan?

Yang membuatku penasaran adalah, mungkin kamu memiliki catatan prestasi yang membuatku mengenalimu, K. Karena biasanya anak-anak berprestasi akan sering muncul di kantor kesiswaan, berurusan dengan Pak SP, atau Mam Dewi, Miss Nita, atau Buk Pristina, atau Buk Liza, atau bahkan Pak Idham atau Umi Ainul. Karena mereka-lah penghuni kantor kesiswaan dan sebagian besar murid-murid berprestasi atau Ketua Kelas akan sering keluar masuk ke sana.

Unfortunately, kamu bahkan tidak memasang avatar yang jelas pada akun Twittermu. Itu terlihat seperti wajah hingga pundakmu yang nampak duduk di bawah jendela kamar (mungkin), dengan efek kartun berwarna hitam putih, yang kelihatannya diambil dari kamera laptop. Aku tidak ingat, tapi sepertinya kamu tidak menggunakan buff waktu itu. Yang kemudian mengingatkanku pada Kak Hasbi, seniorku sewaktu di SMP Negeri 1 Banjarmasin dulu.

Ngebingungin.

Buat apa :p, balasku.

Jarum jam di kamar berdetak lebih keras dari yang kukira. Ia menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Kamarku sudah redup sekali, kecuali cahaya yang keluar dari lampu tidur di sudut ruangan. Tanpa sadar, aku menunggu suara lain daripada detak jarum jam sialan itu; yaitu suara getar BlackBerry yang ada di genggaman tangan.

Semenit. Aku mulai berpikir tentang apa yang akan kamu lakukan dengan nomor telepon. Bagaimana kalau kamu menganggangu ketika aku di sekolah? Bagaimana kalau kamu bertanya yang aneh-aneh? Yang aneh-aneh itu misalnya, kamu punya gangguan tidur? Itu kepo banget namanya.

Dua menit. Anak laki-laki biasanya punya rasa penasaran yang begitu besar. Bagaimana kalau ini hanya iseng-isengan dan cuma karena penasaran? Kurang kerjaan sih kalau bersedia meladeni orang yang iseng.

Drrtt. Drrtt.

Buat pesen ayam goreng, katamu. Ya buat nelfon lah.

Anehnya, aku malah menahan tawa yang mau meledak. Pikiran-pikiran aneh tadi langsung sirna entah kemana. Mungkin saja ini bukan iseng. Rasionya 1:1000. Atau mungkin ini iseng beneran kali ya. Kuketik deretan nomer, lalu kutekan-tekan tombol delete. Lalu kutekan lagi deretan nomer yang terhafal di luar kepala, ada dua belas digit. Lalu ku-delete lagi, satu-satu.

Kutekan lagi.

Sent.

Di pikiran-pikiran perempuan saat ini adalah, kalau anak laki-laki sudah memiliki nomermu, kamu pasti akan memiliki semacam ketakutan kalau-kalau dia akan menerormu atau semacamnya. Seperti mengirimkan sms yang bertubi-tubi dan pertanyaan-pertanyaan memuakkan.

Lagi ngapain?

Udah makan?

Jangan lupa sholat sama makan ya:)

Hell. Emang nggak ada topik menarik selain itu apa? Penurunan devisa negara misalnya? Konflik di Timur Tengah? Konstruksi kuda-kuda pada jembatan mungkin?

“….”

Nggak deh, bercanda. Hehehe.

Dan.., benar saja.

Itu terjadi.

Maksudku, pertanyaan-pertanyaan memuakkan itu. Anehnya, kamu selalu berhasil membuat hal memuakkan menjadi suatu perbincangan yang bahkan kutunggu.

IP Abang udah keluar loh,” katamu, lewat sambungan telepon. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa bulan tepatnya berlalu saat percakapan ini berlangsung. Yang kuingat dari sisa memori itu adalah aku mengenakan seragam pramuka, yang berarti kalau bukan Rabu, mungkin Kamis. Sungguh, kamu terlalu banyak menelepon. Aku tidak ingat. Dan bahkan sampai sekarang, deringan yang kamu buat pada layar ponselku mampu menyedot seluruh perhatian seperti kekuatan gravitasi yang, oh-so-powerful itu. Meskipun bukan seperti gravitasi bumi beneran. Sebab gravitasi dihasilkan oleh massa…, dan massa itu sesuatu dan arti sesuatu bagi tiap-tiap hati manusia tidak pernah sama.

“Oh ya? Berapa?” Kok aku jadi penasaran sih?

Nggak mau ah Abang bilang. Rendah.”

“Ih, kok gitu siiih.. Tadi nawarin..” Ini hal yang paling menjengkelkan. Serius.

Lalu kamu menjawab, “3,5.” Ada hening yang mengudara waktu itu. Sedetik. Dua detik. “Sedikit kan? Rendah,” keluhmu.

Aku mengusap-ngusap tengkuk, merasa agak gerah, terlebih lagi karena belum tahu ingin mengatakan apa. Hari itu aku belum mengganti baju sekolah karena kamu menelepon di saat aku menanggalkan jilbab paris cokelat di depan kaca rias—lihat, bahkan aku tetap menjawab panggilanmu saat aku menarik pentul dari bawah dagu. Kutatap rok cokelatku, lalu memain-mainkan sebagiannya karena benda itu terlalu kembang—serius, itu kurang kerjaan tapi aku tetap mengerjakannya juga, aneh sih memang.

Aku masih SMA, dan belum paham betul tentang IP, SKS, dan sebagiannya lagi. Membicarakan sesuatu yang belum kumengerti membuatku merasa bodoh, dan kamu malah membahas tentang IP itu.
“Adek pernah baca di artikel, bukannya 3,5 udah bagus ya? Nggak rendah lah itu… Standar untuk aplikasi beasiswa aja minimal 2,75.”
Di teknik itu rendah..,” sergahmu, mengumpulkan keyakinan yang kamu anut.
“Ya nggak lah,” sanggahku, tak mau kalah. “Kalian belajar tentang fisika, matematika, b. inggris teknik (yang pernah Abang bilang tempo hari), dan IP tertinggi itu 4. 3,5 itu udah bagus kok.” Dan aku mengerti betapa sulitnya bagimu tentang itu. Percayalah, aku masih berdoa untukmu tentang segalanya, K.

Nanti kalau udah kuliah baru tau rasanya.

Kaummu begitu aneh, K. Terlalu mudah mengatakan sesuatu, semudah melupakannya. Kita bahkan belum membahas “nanti kalau udah kuliah baru tau rasanya” darimu itu. Kamu bahkan tidak memberi kabar selepas semester ganjil ini. Atau mengkhawatirkan gastritisku. Gastritis; yang maknanya terdengar familier di telinga sejenis mahasiswa.  Tapi percayalah, jika kamu bertanya dari mana aku mendapatkannya, aku akan menceritakan segalanya.


I’ll always waiting for that.

Kamulah tempatku melepaskan tangis saat ulangan-ulanganku berubah menjadi remedial. You knew how worst that was for me.

Tanyamu, “Yah…? Remedial ya remedial. Kok nangis jadinya?”

Dan saat-saat memalukan di mana adik perempuanku mengangkat telepon darimu, dan bahkan Mama. Aku masih ingat betapa memalukannya itu bagimu, saat mengetahui kamu akhirnya berbicara kepada Mama. Sampai-sampai kamu membiasakan kalimat, “Assalamualaikum. Halo? Ini Risty?” Yang kemudian membuatku meletupkan beberapa tawa. Itu lucu, karena kamu dua tahun lebih tua dan mau saja melalukan itu. Hehehe.

Tapi, bagaimana bisa aku tetap nyaman kepada orang yang tidak pernah kutemui sebelumnya namun tetap kuangkat teleponnya? Di bulan-bulan itu, di tahun itu, kamu terlalu sering menelepon, K. Aku tidak tahu seberapa besar rasa sepi yang menyelimutimu sebagai mahasiswa tingkat pertama di universitas. Aku tidak tahu perasaan seperti apa setelah kamu kehilangan sosok yang pernah membentakmu untuk masuk ke pesantren.

Bagaimana orang bisa, kadang-kadang begitu cepat, memilih satu orang yang datang dari lingkaran latar belakang yang sama sekali berbeda untuk kemudian dilibatkan ke dalam orbit hidup sehari-hari? Bagaimana orang bisa membagi diri mereka, mempercayakan segaiannya, kepada orang lain, begitu mudahnya? Kita juga terus bertumbuh, sebab memang demikian sifat alami manusia, dan sedikit banyak pasti akan menyerupai orang-orang yang kita percayai sebagai yang terdekat. (Morra Quatro-Ingěnue.)

Entahlah, K.

Aku juga tidak punya jawabannya. Aku sudah berkali-kali mengingatkan kepada diriku sendiri agar melalui semua ini dengan tidak memikirkannya terlalu banyak. Agar dikemudian hari, aku tidak perlu membuang-buang air mata demi rindu yang mendidih, yang kemudian kusimpan sendiri dan kulafalkan dalam doa-doa sesudah sholat. Tapi betapa pun aku mengenyahkan pikiran-pikiran itu, kedatanganmu yang semakin berfluktuasi membuatku risih. Kamu telah membiasakan aku dengan sosokmu yang tersisip.

Jadi, aku tetap akan bernegosiasi dengan waktu. Meskipun pelan-pelan, aku akan berusaha melaluinya. Meskipun kadang aku penasaran setengah mati, aku tetap akan melaluinya. Meskipun kita berada di universitas yang sama (yang tidak pernah kuharapkan untuk terjadi), aku tetap akan berusaha melaluinya. Meskipun aku tetap membuang-buang waktu dengan menulis ini (yang jika kemudian kamu temui blog ini dan membacanya, dan menganalisis seluruhnya, lalu memarahiku, I’m okay with that, K. I deal with that), aku akan tetap berusaha melaluinya. Meskipun kamu sudah tumbuh begitu dewasa. Begitu dewasa.

“Orang mencintai dengan cara masing-masing. Sebagian tak tahu bagaimana cara mencintai, tetapi bila mereka gagal melakukannya, bila cinta mereka gagal memperlihatkan diri, tak berarti mereka tak punya. Sesuatu yang tak tampak bukan berarti tak ada.” (Morra Q: What If—2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar