Jadi,
boleh minta nomer telepon?
Aku
mendengus. Buat apa lagi nomer telepon,
erangku dalam hati. Tanpa sadar aku menggaruk kepala yang tak gatal. Dan mataku
menjelajah langit-langit kamar yang tidak ada apa-apanya, gelap. Maksudku, kita
baru berbincang selama empat puluh menit.
Aku
bahkan belum tahu kamu itu kakak kelas yang mana di sekolahku. Katamu 3 IPA 3.
Oke, aku bisa terima. Tapi ada banyak anak laki-laki di 3 IPA 3. Kamu itu anak
laki-laki yang mana? Maksudku, ya aku tahu kamu punya dua mata, satu hidung,
satu mulut, dan dua telinga.
Lalu
apa?
Manusia
memang memiliki semuanya, ‘kan?
Yang
membuatku penasaran adalah, mungkin kamu memiliki catatan prestasi yang
membuatku mengenalimu, K. Karena biasanya anak-anak berprestasi akan sering
muncul di kantor kesiswaan, berurusan dengan Pak SP, atau Mam Dewi, Miss Nita,
atau Buk Pristina, atau Buk Liza, atau bahkan Pak Idham atau Umi Ainul. Karena
mereka-lah penghuni kantor kesiswaan dan sebagian besar murid-murid berprestasi
atau Ketua Kelas akan sering keluar masuk ke sana.
Unfortunately, kamu bahkan tidak memasang avatar yang jelas pada akun Twittermu. Itu terlihat seperti wajah
hingga pundakmu yang nampak duduk di bawah jendela kamar (mungkin), dengan efek
kartun berwarna hitam putih, yang kelihatannya diambil dari kamera laptop. Aku
tidak ingat, tapi sepertinya kamu tidak menggunakan buff waktu itu. Yang kemudian mengingatkanku pada Kak Hasbi,
seniorku sewaktu di SMP Negeri 1 Banjarmasin dulu.
Ngebingungin.
Buat
apa :p, balasku.
Jarum
jam di kamar berdetak lebih keras dari yang kukira. Ia menunjukkan pukul
setengah satu dini hari. Kamarku sudah redup sekali, kecuali cahaya yang keluar
dari lampu tidur di sudut ruangan. Tanpa sadar, aku menunggu suara lain
daripada detak jarum jam sialan itu; yaitu suara getar BlackBerry yang ada di
genggaman tangan.
Semenit. Aku mulai berpikir tentang apa yang akan kamu lakukan
dengan nomor telepon. Bagaimana kalau kamu menganggangu
ketika aku di sekolah? Bagaimana kalau kamu bertanya yang aneh-aneh? Yang
aneh-aneh itu misalnya, kamu punya
gangguan tidur? Itu kepo banget namanya.
Dua menit. Anak laki-laki biasanya punya rasa penasaran yang
begitu besar. Bagaimana kalau ini hanya iseng-isengan dan cuma karena
penasaran? Kurang kerjaan sih kalau bersedia meladeni orang yang iseng.
Drrtt.
Drrtt.
Buat
pesen ayam goreng, katamu. Ya
buat nelfon lah.
Anehnya,
aku malah menahan tawa yang mau meledak. Pikiran-pikiran aneh tadi langsung sirna
entah kemana. Mungkin saja ini bukan iseng. Rasionya 1:1000. Atau mungkin ini iseng
beneran kali ya. Kuketik deretan nomer, lalu kutekan-tekan tombol delete. Lalu kutekan lagi deretan nomer
yang terhafal di luar kepala, ada dua belas digit. Lalu ku-delete lagi, satu-satu.
Kutekan
lagi.
Sent.
Di
pikiran-pikiran perempuan saat ini adalah, kalau anak laki-laki sudah memiliki
nomermu, kamu pasti akan memiliki semacam ketakutan kalau-kalau dia akan
menerormu atau semacamnya. Seperti mengirimkan sms yang bertubi-tubi dan
pertanyaan-pertanyaan memuakkan.
Lagi ngapain?
Udah makan?
Jangan lupa sholat sama makan ya:)
Hell. Emang nggak ada topik menarik selain itu apa? Penurunan
devisa negara misalnya? Konflik di Timur Tengah? Konstruksi kuda-kuda pada
jembatan mungkin?
“….”
Nggak
deh, bercanda. Hehehe.
Dan..,
benar saja.
Itu
terjadi.
Maksudku,
pertanyaan-pertanyaan memuakkan itu. Anehnya, kamu selalu berhasil membuat hal
memuakkan menjadi suatu perbincangan yang bahkan kutunggu.
“IP Abang udah keluar loh,” katamu, lewat
sambungan telepon. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa bulan tepatnya berlalu
saat percakapan ini berlangsung. Yang kuingat dari sisa memori itu adalah aku
mengenakan seragam pramuka, yang berarti kalau bukan Rabu, mungkin Kamis.
Sungguh, kamu terlalu banyak menelepon. Aku tidak ingat. Dan bahkan sampai
sekarang, deringan yang kamu buat pada layar ponselku mampu menyedot seluruh perhatian
seperti kekuatan gravitasi yang, oh-so-powerful
itu. Meskipun bukan seperti gravitasi bumi beneran. Sebab gravitasi dihasilkan
oleh massa…, dan massa itu sesuatu dan arti sesuatu bagi tiap-tiap hati manusia
tidak pernah sama.
“Oh
ya? Berapa?” Kok aku jadi penasaran sih?
“Nggak mau ah Abang bilang. Rendah.”
“Ih,
kok gitu siiih.. Tadi nawarin..” Ini hal yang paling menjengkelkan. Serius.
Lalu
kamu menjawab, “3,5.” Ada hening yang mengudara waktu itu. Sedetik. Dua detik. “Sedikit
kan? Rendah,” keluhmu.
Aku
mengusap-ngusap tengkuk, merasa agak gerah, terlebih lagi karena belum tahu
ingin mengatakan apa. Hari itu aku belum mengganti baju sekolah karena kamu menelepon
di saat aku menanggalkan jilbab paris cokelat di depan kaca rias—lihat, bahkan
aku tetap menjawab panggilanmu saat aku menarik pentul dari bawah dagu. Kutatap
rok cokelatku, lalu memain-mainkan sebagiannya karena benda itu terlalu kembang—serius,
itu kurang kerjaan tapi aku tetap mengerjakannya juga, aneh sih memang.
Aku
masih SMA, dan belum paham betul tentang IP, SKS, dan sebagiannya lagi.
Membicarakan sesuatu yang belum kumengerti membuatku merasa bodoh, dan kamu
malah membahas tentang IP itu.
“Adek
pernah baca di artikel, bukannya 3,5 udah bagus ya? Nggak rendah lah itu…
Standar untuk aplikasi beasiswa aja minimal 2,75.”
“Di teknik itu rendah..,” sergahmu,
mengumpulkan keyakinan yang kamu anut.
“Ya
nggak lah,” sanggahku, tak mau kalah. “Kalian belajar tentang fisika,
matematika, b. inggris teknik (yang pernah Abang bilang tempo hari), dan IP
tertinggi itu 4. 3,5 itu udah bagus kok.” Dan aku mengerti betapa sulitnya
bagimu tentang itu. Percayalah, aku masih berdoa untukmu tentang segalanya, K.
“Nanti kalau udah kuliah baru tau rasanya.”
Kaummu
begitu aneh, K. Terlalu mudah mengatakan sesuatu, semudah melupakannya. Kita
bahkan belum membahas “nanti kalau udah
kuliah baru tau rasanya” darimu itu. Kamu bahkan tidak memberi kabar
selepas semester ganjil ini. Atau mengkhawatirkan gastritisku. Gastritis; yang maknanya terdengar familier di telinga
sejenis mahasiswa. Tapi percayalah, jika
kamu bertanya dari mana aku mendapatkannya, aku akan menceritakan segalanya.
I’ll always waiting for that.
Kamulah
tempatku melepaskan tangis saat ulangan-ulanganku berubah menjadi remedial. You knew how worst that was for me.
Tanyamu,
“Yah…? Remedial ya remedial. Kok nangis jadinya?”
Dan
saat-saat memalukan di mana adik perempuanku mengangkat telepon darimu, dan
bahkan Mama. Aku masih ingat betapa memalukannya itu bagimu, saat mengetahui
kamu akhirnya berbicara kepada Mama. Sampai-sampai kamu membiasakan kalimat, “Assalamualaikum. Halo? Ini Risty?” Yang
kemudian membuatku meletupkan beberapa tawa. Itu lucu, karena kamu dua tahun
lebih tua dan mau saja melalukan itu. Hehehe.
Tapi,
bagaimana bisa aku tetap nyaman kepada orang yang tidak pernah kutemui
sebelumnya namun tetap kuangkat teleponnya? Di bulan-bulan itu, di tahun itu,
kamu terlalu sering menelepon, K. Aku tidak tahu seberapa besar rasa sepi yang
menyelimutimu sebagai mahasiswa tingkat pertama di universitas. Aku tidak tahu perasaan
seperti apa setelah kamu kehilangan sosok yang pernah membentakmu untuk masuk
ke pesantren.
Bagaimana
orang bisa, kadang-kadang begitu cepat, memilih satu orang yang datang dari
lingkaran latar belakang yang sama sekali berbeda untuk kemudian dilibatkan ke
dalam orbit hidup sehari-hari? Bagaimana orang bisa membagi diri mereka,
mempercayakan segaiannya, kepada orang lain, begitu mudahnya? Kita juga terus
bertumbuh, sebab memang demikian sifat alami manusia, dan sedikit banyak pasti
akan menyerupai orang-orang yang kita percayai sebagai yang terdekat. (Morra
Quatro-Ingěnue.)
Entahlah,
K.
Aku
juga tidak punya jawabannya. Aku sudah berkali-kali mengingatkan kepada diriku
sendiri agar melalui semua ini dengan tidak memikirkannya terlalu banyak. Agar
dikemudian hari, aku tidak perlu membuang-buang air mata demi rindu yang
mendidih, yang kemudian kusimpan sendiri dan kulafalkan dalam doa-doa sesudah
sholat. Tapi betapa pun aku mengenyahkan pikiran-pikiran itu, kedatanganmu yang
semakin berfluktuasi membuatku risih. Kamu telah membiasakan aku dengan sosokmu
yang tersisip.
Jadi,
aku tetap akan bernegosiasi dengan waktu. Meskipun pelan-pelan, aku akan
berusaha melaluinya. Meskipun kadang aku penasaran setengah mati, aku tetap
akan melaluinya. Meskipun kita berada di universitas yang sama (yang tidak
pernah kuharapkan untuk terjadi), aku tetap akan berusaha melaluinya. Meskipun
aku tetap membuang-buang waktu dengan menulis ini (yang jika kemudian kamu
temui blog ini dan membacanya, dan menganalisis seluruhnya, lalu memarahiku, I’m okay with that, K. I deal with that), aku akan tetap
berusaha melaluinya. Meskipun kamu sudah tumbuh begitu dewasa. Begitu dewasa.
“Orang mencintai dengan cara
masing-masing. Sebagian tak tahu bagaimana cara mencintai, tetapi bila mereka
gagal melakukannya, bila cinta mereka gagal memperlihatkan diri, tak berarti
mereka tak punya. Sesuatu yang tak tampak bukan berarti tak ada.” (Morra Q: What If—2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar